BAB I
PENDAHULUAN
I.Latar Belakang
Di Indonesia
terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan, akan tetapi Konstitusi juga memberikan
kesempatan untuk dibuatnya pengadilan khusus yang berada di bawah masing-masing
badan peradilan tersebut. Berikut dibawah ini penjelasan dari masing-masing
lingkungan peradilan beserta pengadilan khusus yang berada dibawahnya.
Terdapat
4 (empat) lingkungan peradilan di Indonesia berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD
1945, antara lain sebagaimana disebutkan dibawah ini :
1.
Lingkungan Peradilan Umum,
meliputi sengketa perdata dan pidana.
2.
Lingkungan Peradilan Agama,
meliputi hukum keluarga seperti perkawinan, perceraian, dan lain-lain.
3.
Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, meliputi sengketa antar warga Negara dan pejabat tata usaha Negara.
4.
Lingkungan Peradilan Militer,
hanya meliputi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh militer.
Lingkungan
Peradilan diatas tersebut memiliki struktur tersendiri yang semuanya bermuara
kepada Mahkamah Agung (MA). Dibawah Mahkamah Agung terdapat Pengadilan Tinggi
untuk Peradilan Umum dan Peradilan Agama di tingkat ibukota Provinsi. Disini,
Pengadilan Tinggi melakukan supervisi terhadap beberapa Pengadilan Negeri,
untuk Peradilan Umum dan Peradilan Agama ditingkat Kabupaten/Kotamadya. Berikut
penjelasan dari masing-masing peradilan sebagaimana tersebut diatas :
Pengadilan Agama (PA)
Undang-Undang
yang mengatur mengenai Pengadilan Agama yakni UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, yang bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqoh,
dimana keseluruhan bidang tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Pengadilan Tata
Usaha Negara (TUN)
Undang-Undang
yang mengatur mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yakni UU Nomor 5
Tahun 1986 yang telah diamandemen dengan UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Pengadilan ini berwenang menyelesaikan sengketa
antar warga Negara dan Pejabat Tata Usaha Negara. Objek yang disengketakan
dalam Peradilan Tata Usaha Negara yaitu keputusan tata usaha Negara yang
dikeluarkan oleh pejabat tata usaha Negara. Dan dalam Peradilan Tata Usaha Negara
ini terdapat 2 (dua) macam upaya hukum, antara lain yakni Upaya Administrasi,
yang terdiri dari banding administrasi dan keberatan, serta Gugatan.
Pengadilan Militer (PM)
Undang-Undang
yang mengatur mengenai Pengadilan Militer yakni UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer. Pengadilan ini berwenang mengadili kejahatan atau
pelanggaran yang dilakukan oleh militer.
BAB II
PERUMUSAN MASALAH
Permasalahan
yang timbul berdasarkan latar belakang adalah:
·
Bagaimakah kewenangan pengadilan militer dalam memutus perkara
pidana militer terkait dengan kasus ‘koboi palmerah’ ?
BAB III
PEMBAHASAN
Kamis, 03
Mei 2012 | 08:22 WIB
Kasus Koboi Palmerah Harusnya
ke Peradilan Umum
TEMPO.CO, Jakarta -
Polah anggota TNI AD yang sewenang-wenang menggunakan senjata di Palmerah
mendapat sorotan luas semenjak terungkap di jejaring soal. Menurut Direktur
Ekskutif Imparsial Poengky Indarti, kasus di luar tugas militer harus masuk ke
peradilan umum.
"Dulu yang di Papua, sampai ada yang meninggal, sanksinya hanya ringan 8-10 bulan dari peradilan militer," kata Poengky ketika dihubungi Rabu, 2 Mei 2012.
Padahal, menurut Poengky, kasus di Papua itu lengkap dengan bukti video. Bahkan, pengusutannya mendapat sorotan dunia internasional. "UU Peradilan Militer tidak cukup efektif," kata Poengky. Alasannya, UU Peradilan Militer belum secara tegas mengatur batasan pelanggaran bagi aparatnya. "Dalihnya selalu mereka tidak menuruti perintah atasan atau insubordinat," ujar Poengky.
Khusus Kapten A yang bertindak lagaknya koboi, kata Poengky, perilakunya bukan dalam tugas. Itu artinya sudah masuk sewenang-wenang selaku aparat militer. "Jadi kalau bisa masuk peradilan umum, maka hukumannya bisa diperberat."
Polah Kapten A yang menodongkan pistol terekam dalam sebuah video. Video tersebut kemudian diunggah di dunia maya yang membuat jadi bahan pembicaraan di jejaring sosial Youtube dan Twitter.
Isi video menggambarkan percekcokan seorang pengendara mobil TNI-AD berplat nomer 1349-00 dengan seorang pengendara vespa. Sang aparat tampak tak terima mobilnya diserempet lalu mengacungkan pistol dan tongkat besi. TNI AD pun membenarkan bahwa pelaku di video tersebut adalah anggota mereka.
Poengky menambahkan,terungkapnya polah Kapten A bisa jadi momen untuk membahas revisi UU Peradilan Militer yang timbul tenggelam dari 2004-2009. "Ada banyak kasus pelanggaran hukum aparat militer," ujar dia. Maka, ia berharap kasus Kapten A bisa jadi pertimbangan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat duduk bersama untuk membawas UU Peradilan militer.
"Dulu yang di Papua, sampai ada yang meninggal, sanksinya hanya ringan 8-10 bulan dari peradilan militer," kata Poengky ketika dihubungi Rabu, 2 Mei 2012.
Padahal, menurut Poengky, kasus di Papua itu lengkap dengan bukti video. Bahkan, pengusutannya mendapat sorotan dunia internasional. "UU Peradilan Militer tidak cukup efektif," kata Poengky. Alasannya, UU Peradilan Militer belum secara tegas mengatur batasan pelanggaran bagi aparatnya. "Dalihnya selalu mereka tidak menuruti perintah atasan atau insubordinat," ujar Poengky.
Khusus Kapten A yang bertindak lagaknya koboi, kata Poengky, perilakunya bukan dalam tugas. Itu artinya sudah masuk sewenang-wenang selaku aparat militer. "Jadi kalau bisa masuk peradilan umum, maka hukumannya bisa diperberat."
Polah Kapten A yang menodongkan pistol terekam dalam sebuah video. Video tersebut kemudian diunggah di dunia maya yang membuat jadi bahan pembicaraan di jejaring sosial Youtube dan Twitter.
Isi video menggambarkan percekcokan seorang pengendara mobil TNI-AD berplat nomer 1349-00 dengan seorang pengendara vespa. Sang aparat tampak tak terima mobilnya diserempet lalu mengacungkan pistol dan tongkat besi. TNI AD pun membenarkan bahwa pelaku di video tersebut adalah anggota mereka.
Poengky menambahkan,terungkapnya polah Kapten A bisa jadi momen untuk membahas revisi UU Peradilan Militer yang timbul tenggelam dari 2004-2009. "Ada banyak kasus pelanggaran hukum aparat militer," ujar dia. Maka, ia berharap kasus Kapten A bisa jadi pertimbangan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat duduk bersama untuk membawas UU Peradilan militer.
I.Kewenangan Pengadilan Untuk Mengadili
Kewenangan mengadili atau kompetensi yurisdiksi pengadilan
adalah untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus
suatu perkara, sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan tidak
ditolak dengan alasan pengadilan tidak berwenang mengadilinya. Kewenangan
mengadili merupakan syarat formil sahnya gugatan, sehingga pengajuan perkara
kepada pengadilan yang tidak berwenang mengadilinya menyebabkan gugatan
tersebut dapat dianggap salah alamat dan tidak dapat diterima karena tidak
sesuai dengan kewenangan absolut atau kewenangan relatif pengadilan.
Kewenangan
absolut pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu untuk
memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan jenis perkara yang akan diperiksa
dan diputus. Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2004, kekuasaan kehakiman (judicial
power) yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) merupakan penyelenggara
kekuasaan negara di bidang yudikatif yang dilakukan oleh lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut
Yahya Harahap, pembagian lingkungan peradilan tersebut merupakan landasan
sistem peradilan negara (state court system) di Indonesia yang terpisah
berdasarkan yurisdiksi (separation court system based on jurisdiction).
Berdasarkan penjelasan Undang-undang No. 14 Tahun 1970, pembagian itu
berdasarkan pada lingkungan kewenangan yang dimiliki masing-masing berdasarkan diversity
jurisdiction, kewenangan tersebut memberikan kewenangan absolut pada masing-masing
lingkungan peradilan sesuai dengan subject matter of jurisdiction,
sehingga masing-masing lingkungan berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Lingkungan
kewenangan mengadili itu meliputi:
a.
Peradilan Umum berdasarkan UU No.
2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, memeriksa dan memutus perkara dalam hukum
Pidana (umum dan khusus) dan Perdata (umum dan niaga).
b.
Peradilan Agama berdasarkan UU
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, memeriksa dan memutus perkara
perkawinan, kewarisan, wakaf dan shadaqah.
c.
Peradilan Tata Usaha Negera
berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, memeriksa
dan memutusa sengketa Tata Usaha Negara.
d.
Peradilan Militer yang berwenang
memeriksa dan memutus perkara perkara pidana yang terdakwanya anggota TNI
dengan pangkat tertentu.
Kewenangan Relatif Pengadilan
Kewenangan
relatif pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu
berdasarkan yurisdiksi wilayahnya, yaitu untuk menjawab pertanyaan “Pengadilan
Negeri wilayah mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara?”. Mengajukan
gugatan pada pengadilan diluar wilayah hukum tempat tinggal tergugat, tidak
dibenarkan.
Kompetensi Pengadilan Militer
Kompetensi
absolut peradilan militer dijelaskan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer. Pada pokoknya menyatakan :
1.
Mengadili Tindak Pidana Militer
Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang pada waktu
melakukan adalah:
a.
Prajurit;
b.
Yang berdasarkan undang-undang
dipersamakan dengan prajurit;
c.
Anggota suatu golongan atau
jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit
berdasarkan undang-undang ;
d.
Seseorang yang tidak termasuk
prajurit atau yang ber-dasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit atau
anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau
dianggap sebagai prajurit ber-dasarkan undang-undang; tetapi atas keputusan
Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer.
2.
Tata Usaha Militer.
Memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Wewenang ini berada pada Pengadilan
Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Militer Utama
sebagai pengadilan tingkat banding
3.
Peradilan militer juga memiliki
kompetensi absolut untuk menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara
pidana bersangkutan atas permintaan dari pihak dirugikan sebagai akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan dan sekaligus memutus
kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Kompetensi relatif merupakan kewenangan pengadilan sejenis untuk memeriksa
suatu perkara. Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer : Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili
tindak pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 1 yang :
a.
Tempat kejadiannya berada di
daerah hukumnya; atau
b.
Terdakwanya termasuk suatu
kesatuan yang berada di daerah hukumnya.
Pasal 11 menegaskan : “Apabila lebih dari 1 (satu) pengadilan berkuasa mengadili suatu perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, pengadilan yang menerima perkara itu lebih dulu harus mengadili perkara tersebut“.
Pasal 11 menegaskan : “Apabila lebih dari 1 (satu) pengadilan berkuasa mengadili suatu perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, pengadilan yang menerima perkara itu lebih dulu harus mengadili perkara tersebut“.
II.Analisis Kasus
Di
Indonesia, peradilan militer
diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Dalam UU tersebut, diatur beberapa hal mengenai
yurisdiksi peradilan militer,
struktur organisasi dan fungsi peradilan
militer, hukum acara peradilan
militer dan acara koneksitas, serta hukum tata usaha militer.
Di
sisi lain, dalam sistem peradilan
militer tidak ada kejelasan mengenai jaminan terhadap hak-hak sipil bagi
anggota militer ketika mereka
berurusan dengan peradilan militer.
Hak untuk didampingi pengacara, hak untuk mengetahui alasan penangkapan
dan/atau dakwaan, hak untuk tidak diintimidasi dan disiksa, hak untuk
menghubungi dan bertemu keluarga, dan lain-lain, sama sekali tidak diatur dalam
sistem peradilan militer kita.
Prajurit atau anggota militer
bagaimanapun juga merupakan warga negara (citizens in uniform). Dengan
demikian, mereka juga memiliki hak yang sama di muka hukum dengan warga negara
yang lain, di mana negara harus menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut.
Ketika
seorang anggota militer
melakukan sebuah tindak pidana, ada beberapa jalur hukum yang mereka miliki.
Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997, apapun bentuk tindak pidana yang dilakukan
maka mereka akan diadili di peradilan
militer. Kalaupun ada unsur tindak pidana umum di dalamnya, atau tindak
pidana tersebut dilakukan bersama-sama dengan warga sipil, maka harus digunakan
hukum acara koneksitas. Di mana dalam hukum acara koneksitas ini, harus
dibentuk sebuah tim koneksitas yang mensyaratkan adanya keputusan dari Menteri
Pertahanan dan Keamanan serta persetujuan dari Menteri Kehakiman.
Di
sisi lain, persoalan peradilan militer
semakin kompleks dengan adanya ketidakjelasan dan saling tumpang tindih antara
tindak pidana militer, tindak
pidana umum dan pelanggaran disiplin militer.
Selain itu, aturan mengenai tindak pidana militer berdasar pada UU No. 39 Tahun 1947 yang merupakan hasil
adopsi dari Kitab Undang-Undang hukum Pidana militer Belanda ketika masih menjajah Indonesia.
TB
Hasanuddin (Politikus PDI Perjuangan) setuju dengan peradilan umum terhadap TNI
bila kasusnya bukan pelanggaran hukum perorangan. "Saya setuju peradilan
umum harus diberlakukan untuk siapapun, termasuk anggota TNI,karena tuntutan
reformasi dan bukan karena adanya pelanggaran hukum perorangan.Purnawirawan TNI
itu mengatakan, dirinya prihatin dengan meningkatnya pelanggaran hukum dan
tindakan sombong aparat TNI dan Polri. Kasus geng motor, koboi Palmerah dan
penodongan oleh sembilan orang anggota polisi yang mabuk di Manado,"Penyebab
utamanya antara lain kurangnya pendidikan disiplin dan hukum di lingkungan
aparat. Ini perlu ditingkatkan secara serius oleh lembaga masing-masing,"
jelas TB Hasanuddin.
Selain itu, respon negative dari masyarakat terkait dengan prilaku
oknum anggotanya harus dijadikan pemicu untuk melakukan evaluasi sejauhmana
reformasi TNI telah berjalan dengan baik atau tidak. Hal ini juga untuk tetap
menjaga agar TNI tetap berada pada jalur untuk menjadi tentara professional
yang dicintai oleh rakyatnya. Belajar dari reformasi militer di sejumlah
Negara, semisal Nigeria atau Philipina dimana berhasil tidaknya reformasi
militer tergantung dari sejauhmana respon internal tentara terkait dengan
nilai-nilai demokratik dan kebebasan sipil.
Membiarkan personil dan perwiranya untuk berprilaku melawan arus
perubahan politik dan kebebasan sipil, sebagai paket dari demokratisasi dengan
tetap mempertahankan kultur lama dan ingin diistimewakan hanya akan membawa
institusi TNI kembali pada posisi era Orde Baru.
Pilihan
untuk berubah dan mengikuti proses demokratisasi yang tengah berlangsung harus
menjadi satu-satunya pilihan untuk menegaskan komitmen TNI terhadap reformasi
internal. Jika tidak, bukan tidak mungkin, jerih payah TNI untuk mereformasi
diri selama lebih dari satu dekade, hilang tak berbekas. Terhapus sikap arogan
dan keinginan untuk selalu diistimewakan oleh publik. Sebagaimana yang terjadi
pada kasus Koboy Palmerah.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Di Indonesia terdapat 4 (empat) lingkungan
peradilan, akan tetapi Konstitusi juga memberikan kesempatan untuk dibuatnya
pengadilan khusus yang berada di bawah masing-masing badan peradilan tersebut. Lingkungan
Peradilan tersebut memiliki struktur tersendiri yang semuanya bermuara kepada
Mahkamah Agung (MA). Dibawah Mahkamah Agung terdapat Pengadilan Tinggi untuk
Peradilan Umum dan Peradilan Agama di tingkat ibukota Provinsi. Disini,
Pengadilan Tinggi melakukan supervisi terhadap beberapa Pengadilan Negeri,
untuk Peradilan Umum dan Peradilan Agama ditingkat Kabupaten/Kotamadya.
Pengadilan Militer
merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah Mahkamah
Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan
memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah
prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah.
Undang-Undang yang mengatur mengenai Pengadilan Militer yakni
UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pengadilan ini berwenang
mengadili kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh militer.
0 komentar:
Posting Komentar